Belakangan ini Dana Moneter
Internasional (IMF) telah mengeluarkan laporan tentang World Economic
Outlook yang menyatakan bahwa tren perlambatan ekonomi global masih akan
terjadi hingga 2020 mendatang. Harus dipahami terdapat beragam faktor
sangat kompleks yang membentuk arah perekonomian global, mulai dari
ancaman suku bunga di Amerika Serikat (AS) sampai ketegangan di Timur
Tengah. Dari pelemahan harga komoditas dunia sampai volatilitas nilai
tukar mata uang.
Pemulihan ekonomi global yang tadinya diperkirakan terjadi pasca krisis subprime-mortgage dan krisis utang Eropa ternyata memberikan bentuk yang berbeda antara negara maju dan negara emerging.
Dalam laporannya, IMF memperkirakan rata-rata potensi pertumbuhan
ekonomi negara maju untuk periode 2015-2020 sebesar 1,6%. Proyeksi ini
naik sedikit dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kelompok negara ini
sepanjang tahun 2008-2014 sebesar 1,3%.
Sementara itu, proyeksi rata-rata
pertumbuhan 2015-2020 masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi
negara maju sebelum krisis 2001-2007, yaitu sebesar 2,25%. Sementara
untuk kelompok negara emerging, IMF memproyeksikan rata-rata
potensi pertumbuhan 2015- 2020 sebesar 5,2%. Proyeksi ini jauh lebih
rendah dari rata-rata realisasi pertumbuhan ekonomi negara emerging sepanjang tahun 2008-2014 yang sebesar 6,5%.
Sementara untuk tahun 2015 ini, IMF
memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara maju akan sedikit
membaik menjadi 2,4%, dibandingkan dengan realisasi tahun lalu, 1,8%.
Sementara kelompok negara emerging, kecuali India, justru
menunjukkan arah berlawanan. Harus dipahami bahwa melemahnya pertumbuhan
ekonomi negara berkembang sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti
melemahnya harga dan permintaan komoditas dunia, melemahnya pertumbuhan
ekonomi Tiongkok, menguatnya mata uang dolar AS, dan melemahnya konsumsi
domestik.
Secara khusus bagi Indonesia, risiko
pelemahan pertumbuhan ekonomi global akan semakin meningkat apabila
penyesuaian suku bunga oleh The Fed benar-benar dilakukan pada tahun
ini. Tanpa adanya penyesuaian suku bunga The Fed, dampak pelemahan
perekonomian global mulai terasa di dalam negeri. Baru-baru ini Bank
Dunia juga memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya
sebesar 5,2% dan di bawah target APBN-P sebesar 5,6%.
Bank Indonesia juga memperkirakan bahwa
pertumbuhan kredit kuartal I 2015 hanya sebesar 11% dan jauh di bawah
target awal 15-17%. Salah satu penyebab yang membuat target penyerapan
kredit rendah adalah pelemahan konsumsi domestik. Indikator lain yang
juga menarik untuk dicermati adalah data dari Gaikindo yang menyebutkan
bahwa realisasi penjualan kendaraan roda empat pada kuartal I 2015 turun
sebesar 14- 15% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Melemahnya daya beli masyarakat menjadi
faktor yang memicu penurunan realisasi penjualan automotif. Sejumlah
laporan dan analisis juga menunjukkan perlambatan di sejumlah sektor
lain seperti properti dan ritel seiring dengan perlambatan dunia usaha
dan daya beli masyarakat akibat melemahnya daya beli, terbatasnya ruang
ekspansi usaha di sektor mineral dan tambang, serta pelemahan harga
komoditas ekspor Indonesia.
Menimbang kondisi ini, pemerintah dirasa
perlu secara komprehensif menyusun kebijakan untuk memitigasi dampak
perlambatan perekonomian global. Menjaga daya beli masyarakat dan
bergairahnya iklim dunia usaha perlu terus dijaga dan bahkan
ditingkatkan. Adapun upaya untuk meningkatkan target pajak sebesar 40,3%
dari Rp1.058 triliun menjadi Rp1.484,6 triliun perlu tetap
memperhatikan kondisi perekonomian dunia dan domestik saat ini.
Referensi :
No comments:
Post a Comment